Ep-1_Teman?
Hujan deras dengan suara petir mendera kota dimana Rihanna tinggal.
Sejak satu jam lalu,
gadis yang biasa dipanggil Riri itu menonton sebuah Drama Korea dilayar
laptopnya. Waktu menunjukan pukul 7 malam, tapi gadis itu masih belum menutup
tirai jendelanya.
Mengalihkan fokusnya dari
tayangan, Riri menghembuskan nafasnya dengan sangat berat. Dia mematikan
laptopnya, Riri menunduk sangat lama. Kemudian dia menyimpan laptop diatas meja
belajarnya.
Riri berjalan ke arah
jendela kamarnya. Menatap beberapa orang yang lewat dengan terburu-buru. Just
information, Riri tidak pernah menutup tirai jendelanya, kecuali sedang memakai
baju.
Matanya beralih pada
perutnya yang keroncongan. Riri menyentuh perutnya. Sesaat ia ingat, sejak
siang tadi, Riri belum makan lagi. Tapi ia terlalu malas untuk turun kebawah hanya
sekedar makan.
Suara ketukan pintu
membuat Riri beralih dari jendela kamarnya. Ia bergegas membuka pintu.
“Kenapa?” ketus Riri.
“Loh loh loh, ya ora usah
tanya kenapa toh Ndhuk. Harusnya Bibi yang tanya kenapa? Kamu iki belum dinner
toh Ndhuk.” jawab Bi Tati dengan semangat dan logat Jawa nya.
Bi Tati ini adalah ART
dirumahnya dari sejak pertama orang tuanya menikah.
“Dinner?” tanya Riri.
Bi Tati
mengangguk.”Dinner artinya makan malam toh?”tanya balik Bi Tati. “Dinner toh
Ndhuk. Massa ndak tau. Bibi yang tidak tamat SD saja tahu, massa Ndhuk Riri
yang sekolah SMA ndak tau.” Lanjutnya.
“Hah?” Riri melongo
dengan penuturan Bi Tati. Sejak kapan Bi Tati jadi gaul begini? Bingungnya.
“Wis toh, Ndhuk. Ndak
usah dipikirin kalo Bibi sekarang lebih pintar darimu toh.”
“Apasi? Mau apa ngetuk
pintu?” tanya Riri dengan ketus.
Ngomong-ngomong, Bi Tati
ini sudah terbiasa dengan sikap ketusnya Riri. ART nya itu tahu betul kenapa
Riri menjadi seperti ini. Ia faham dengan keadaan Riri.
“Jangan begini toh, Cah
Ayu. Makan ya!” pinta Bi Tati memegang tangan Riri.
Riri melepaskan tangan Bi
Tati dari pergelangan tangannya. “Riri gak laper.” tolak Riri.
Tapi perutnya berkata
lain. Perutnya bersuara dan itu terdengar jelas oleh Bi Tati. Wanita berusia 57th itu mecolek perut Riri.
“Ndak laper toh, Ndhuk.”
jahil Bi Tati.
“Ya sudah, Bibi ambilkan
makan saja ya kalo kamu ndak mau turun.” ucapnya lalu hendak mengambil makan
untuk Riri.
“Gak perlu.”
“Loh loh. Perutmu itu
keroncongan betul. Nanti kamu sakit, Ndhuk.”
“Biar Riri yang turun.
Bibi temenin.”
******
“Ri, nanti siapa yang
datang ke acara Pertunjukkan Bakat?” tanya Jessie ditengah pembelajaran.
Riri mengangkat bahunya
tidak peduli. Jessie bilang, kedua orang tuanya akan menghadiri acara
Pertunjukkan Bakatnya, yaitu menari.
Riri ingin benar-benar
tidak peduli siapa yang akan jadi wali nya di Pertunjukkan Bakat nanti. Tapi
hatinya tidak. Sejak kelas 2 SD, orang
tua Riri bercerai. Mama nya pergi meninggalkan dia yang sampai saat ini ntah
dimana. Ntah masih hidup atau tidak, Riri tidak tau. Sedangkan Papa nya, sibuk
bekerja.
Papa nya adalah pemilik
dari Brand Kerajinan Kayu besar. Tak hanya itu, Papa Riri juga pemilik salah
satu Penerbit Mayor. Itulah sebabnya mengapa Papa Riri sangat sibuk sekali.
Setiap ada rapat ataupun
sesuatu yang mengharuskan datangnya wali murid, Bi Tati selalu menjadi
sasarannya. Entah bagaimana jadinya bila tidak ada Bi Tati di hidup Riri.
*******
Acara Pertunjukkan Bakat
berjalan dengan meriah dan sangat membahagiakan. Tapi tidak berlaku untuk Riri.
Gadis itu tidak pernah menunjukkan bakatnya walaupun setiap tahun acara itu
ada. Ini tahun kedua di SMA. Artinya, tahun depan adalah tahun terakhir Riri
bisa menunjukkan bakatnya di sekolah.
Meski begitu, Riri sudah
berniat tidak akan menunjukkan apapun. Percuma saja, orang tuanya tidak akan
melihat Pertunjukkan Bakatnya. Walaupun sebenarnya Riri tidak punya bakat untuk
ditunjukkan.
“Jessie, kamu luar biasa.
Ayah bangga sama kamu” ucap Ayah Jessie memeluk Jessie.
Riri melihat Jessie dipeluk
Ayahnya hanya mampu tersenyum miris. Ia tidak ingat kapan terakhir kali Papanya
memeluk dia. Bahkan sudah 2 hari ini, Riri tidak bertemu Papa nya.
“Ndhuk, kita pulang saja
ya. Bibi tahu, kamu ndak nyaman disini.” ajak Bi Tati.
Riri mengangguk patuh.
Sepanjang perjalanan
pulang Riri hanya menatap keluar jendela. Bi Tati dan Mang Agus sopirnya saling
menatap. Mereka bingung harus menghibur dengan cara bagaimana. Karena jika
sudah begini, Nona Muda mereka susah sekali untuk dihibur.
Bahkan jika salah satu
dari mereka mengadukan hal ini kepada Tuannya, Tuan Besar mereka hanya menjawab
“Biarkan Riri melakukan apa yang ingin Riri inginkan.” Tapi Tuannya itu
tidak pernah memberikan apa yang Riri inginkan.
Sesampainya dirumah, Riri
langsung berlari menuju kamarnya.
Riri membuka pintu
kamarnya dengan sangat kasar. Dia melempar tas nya ke sembarang arah. Tidak
peduli tas nya mengenai benda apapun yang membuat jatuh.
Gadis itu membenamkan
wajahnya pada boneka beruang besar kesayangannya.
Boneka itu adalah kado
ulang tahun dari kedua orang tuanya saat ia berusia 7th. Awalnya
Riri tidak peduli dengan boneka besar itu, namun setelah ia berusia 8th
dan kedua orang tuanya bercerai, Riri menjadi anak yang murung. Ia tidak suka
berteman dengan siapapun. Bahkan saat teman-teman sebayanya mengajak main ke
rumah mereka, setiap pulang Riri selalu menangis.
Ia selalu berfikir,
berteman dengan orang yang orang tuanya lengkap hanya membuatnya merasa iri dan
sakit hati. Itu sebabnya pula Riri tidak punya teman dekat.
Ia hanya akan bercerita
segala kesenangan dan kesedihannya pada Chiko, boneka beruangnya yang selalu
menemani dia tidur sejak kecil. Dari situlah Riri sangat menyayangi Chiko.
Bi Tati menyusul Riri ke
kamarnya, wanita tua itu mengusap punggung Riri dengan penuh kasih sayang.
Bi Tati sering melihat
pemandangan seperti ini, dimana Riri selalu terlihat hancur hanya karena iri
melihat temannya dipuji, ditemani dan disayang orang tuanya.
Meskipun Bi Tati dan Mang
Agus sangat menyayanginya, tak sedikitpun menutup kemungkinan bahwa Riri juga
ingin merasakan kasih sayang berlimpah dari Papanya.
“Ndhuk, kalo kamu ingin
makan nanti telpon bibi saja ya. Biar bibi antar saja kesini. Bibi tau, kamu
sedang ingin sendiri.” ucap Bi Tati mengelus rambut Riri.
Riri tak menjawab apapun,
ia tetap menangis sejadi-jadinya. Bi Tati menutup pintu kamar Riri dengan penuh
rasa sedih.
“Gue tau Papa sayang gue.
Tapi kenapa Papa gak pernah nunjukkin itu??” racau Riri sambil memukul-mukul
kepala Chiko.
“Gue gak pernah minta
apapun ke Papa selain waktu Papa. Tapi kenapa seolah waktu Papa buat gue tuh
gak pernah ada.”
“Dan Mama juga, kenapa
sampai sekarang Mama gak pernah ada kabar ke gue? Apa Mama lupa kalo dia udah
ngelahirin gue?”
“Apa mereka nyesel dengan
kelahiran gue?”
“Kalo gue bisa milih, gue
juga gak pernah pengen lahir dari keluarga yang hancur kaya gini.” teriak Riri
memukul hidung Chiko dengan keras.
Riri masih enggan
menghentikan tangisan nya. Ia menangis sesenggukan seolah ia benar benar
merasakan sesuatu yang sangat menyakiti dirinya.
Elusan sebuah tangan
menghentikan tangisannya. Ia terbangun. Riri mengedarkan pandangannya terkejut
siapa yang mengelus-elus punggungnya. Padahal ia tahu, Bi Tati sudah pergi
sejak tadi.
“Chiko, andai lo bisa
ngomong. Gue pasti bakal seneng.” gumam Riri.
Ia masih saja terisak
pelan.
Tak lama kemudian, gadis
itu tertidur. Bahkan sepatunya saja masih terlihat jelas menempel dikaki nya.
Tapi diam-diam, ternyata elusan itu benar adanya. Bukan halusinasi Riri saja.
Komentar
Posting Komentar